Menu

27 Nov 2009

Makna Idul adha

Teks Khutbah I’dul Adha 1426 H

Gema suara takbir berkumandang di seluruh dunia, jutaan umat Islampun berdatangan ke baitullah memenuhi seruan Robbnya. Kita masih diberikan kesempatan untuk merayakan hari raya Idhul Adha atau juga dikenal sebagai hari raya Idul Qurban. Secara historis, ini adalah peristiwa heroik dan menegangkan yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS

Makna terpenting Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran tauhid (monoteisme) Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim AS mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri. Tanpa Allah, yang ada hanya kekacaubalauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang.

Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif (Ali Imron: 95 dan An Nahl: 123), hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.

Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan. Inti pesan inilah yang kemudian diwariskan Nabi Ibrahim kepada nabi-nabi sesudahnya, dan tetap menjadi corak agama-agama sesudahnya. Karena itu, agama-agama yang berafiliasi kepadanya sesungguhya memiliki akar yang sama, yaitu akar ketauhidan. Makanya, sebagian ritualnya yang tidak bertentangan dengan akar ketauhidan tetap dipelihara dan diikuti oleh umat-umat sesudah Nabi Ibrahim.

Pengorbanan atau persembahan yang dilakukan Ibrahim merupakan manifestasi dari hal itu. Peristiwa ini memiliki dua dimensi yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengondisikan umat manusia melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempit dan pragamatisnya sehingga dapat "menjumpai" Tuhan. Secara horizontal, hal itu melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.

Wahyu Allah SWT kepada Ibrahim AS untuk mempersembahkan putranya yang kemudian diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh merendahkan manusia lain, menjadikannya sebagai persembahan, atau melecehkannya dalam bentuk apapun. Sebab, manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai yang merepresentasikan kesetaraan dan sejenisnya perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan sehingga dunia dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan hakiki.


Tuhan pada hakikatnya tidak membutuhkan apa-apa, termasuk persembahan. Perintah itu hanya untuk menguji ketaatan manusia dalam merespon pesan dan perintah Ilahi dan kesediaannya untuk tidak dikungkung pendiriannya yang subyektif, atau impuls-impuls kejahatan yang menipu. Persembahan sekadar suatu simbol yang melambangkan makna yang lebih substansial, yaitu ungkapan ketaatan untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang sejatinya selalu bersesuaian dengan nilai kemanusiaan perenial. Dalam hadisnya Rasulullah SAW mengecam keras orang yang tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakatnya. “Laisa minna mal-laa yahtam bi umuril muslimin” (bukanlah termasuk golongan orang muslim, mereka yang tidak peduli dengan kesulitan saudaranya).

Pada suatu bangsa, ketika orang kaya hidup mewah diatas penderitaan orang-orang miskin, ketika anak-anak yatim dan mereka yang papa merintih dalam belenggu nasibnya, ketika para penguasa membunuhi orang-orang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak kekayaan dan memasukkan ke penjara orang-orang kecil yang tidak berdosa. Dalam kondisi inilah maka esensi perayaan Idul Qurban yang sesungguhnya perlu kita aktualisasikan. Pembelaan kepada mereka yang kurang mampu secara ekonomi, pembelaan terhadap mereka yang mendapat perlakuan tidak adil secara hukum, pembelaan terhadap mereka yang tidak mendapatkan haknya dari penguasa. Rasulullah menyampaikan pesan sosialnya :

Mengapa kamu tidak mau berjihad dijalan Allah, membela orang-orang tertindas baik, laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a : Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah penolong dari sisi-Mu. [An Nisa’: 75]

Hari raya qurban yang sesungguhnya adalah menumbuhkan sikap tenggang rasa dan kepedulian terhadap sesama. Norma atau cita-cita sosial inilah yang sesungguhnya ingin dihidupkan dalam ajaran tauhid. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi SAW :” Maa aamina bii man baata syab’anun wa jaaruhu jaai’uun ila janbinhi wahuwa ya’lamu” (Tidaklah sempurna iman seseorang terhadapku, bila dia hidup dalam keadaan kenyang sedangkan dia tahu tetangganya sedang dalam kelaparan).

Udlhiyah (pengorbanan) dalam Idul Adha perlu dimaknai dalam kerangka pembumian nilai agama yang memiliki spektrum moral yang luas. Pengorbanan merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati yang pada prinsipnya bersifat moralitas perenial dan universal, seperti melepaskan egoisme, narsisme, dan sejenisnya, berlaku adil kepada siapa saja, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.


Melalui pemaknaan semacam itu, Idul Adha bersifat signifikan dalam meneguhkan keberagamaan substansial; kebertauhidan yang berimplikasi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari Raya Haji mengingatkan kita peristiwa keagamaan yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, berawal dari penghambaan diri manusia kepada kepentingan sendiri.


Karena itu, Idul Qurban harus menjadi proses pembebasan manusia dari segala sifat yang membuat manusia lupa jati dirinya sebagai makhluk Allah, yang satu dengan lain memiliki kesetaraan, juga perbedaan yang tidak harus dipertentangkan. Dalam kesetaraan dan perbedaan itu manusia seharusnya menjalin kerja sama hakiki, serta membuang jauh-jauh segala bentuk permusuhan, serta segala rupa kejahatan yang lain.

26 Nov 2009

Perjalan ke Kampus Rakyat (bag 2)

Setelah mendapatkan kepastian lulus, hati itu teras plong...banget. Sudah tenang. walaupun hasil Ujian Nasional agak mengecewakan, bahkan beberpa guru pun berkomentar iba, "untung saja kau lulus yat, hampir saja" .
saya pun menjawabnya dengan tenang
"iya Pa, alhamdulillah saya lulus".

Yah, seperti itulah kehidupan, penuh tantangna, cobaan, rintangan, suka, dan duka. Kita pun harus ingat akan firma Allah swt. berikut:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqaroh: 214)

Mungkin ini salah satu cobaan dari Allah untuk menguji kesabaranku, saya pun berusha tetap tegar. Alhamdulillah saya mempunyai seorang ibu alias mama yangs angat pengertian, beliau mengatakan
"tidak apa-apa yat, yang penting sudah diterima di IPB. nanti disana belajar yang rajin dan buktikan klo kau bisa dan pandai"
Saya pun bersemangat untuk membuktikan bahwa saya bisa membahagiakan orang tua, dan ingin menebus nilai matematikaku di UN yang jelek.

Tiba saat keberangkatan
Akhir Juli 2007, tiket sudah dibeli. Pergi ke bandara Mutiara Palu menggunakan motor bersama keluargaku tercinta. Saya berangkat ke Jakarta hanya berdua bersama temanku yang lolos PMDK di Bandung, Made Indra. Orangtuaku hanya mengantarkan sampe bandara saja. saat-saat yang mendebarkan, pergi ke kampung orang, meniggalkan kota yang membesarkanku.

Kucium tangan penuh cinta mama dan papaku. Tak terasa air matapun menetes satu persatu membasahi pipiku. Kuberusaha menahanya sekuat tenaga, tetap tegar, sambil menguatkan azzam untuk mencari ilmu yang bisa membawaku ke surganya Allah. Tak sanggup saya melihat wajah mamku yang saat itu menetskan air mata. Selangkah demi selangkah meninggalkan orang yang saya sayangi di depan pintu pengantar, tak mampu saya menoleh ke belakang melihat mereka, tak mampu saya melihat kesedihan di matanya, saya yakin kesedihan sekaligus kebanggaan.

Di pesawat
Disamping saya duduk ada Made Indra. Matanya terus mengeluarkan air yang membasahi pipinya. Saya pun tidak bisa menyembunyikan kesedihanku, air mata pun tak terbendung. Saya berusaha sabar, sehingga nangisnya ga kelamaan. hehehe. Saya menatap keindahan malam hari kota, nampak dari udara cahaya kelap-kelip kota.

Akhirnya sampai di Jakarta
Akhirnya sampe juga di Bandara Soekarno-Hatta, saya mencari-cari Om Nawi (adik dari mamaku) yang tinggal di Tangerang. Sudah lama saya tidak ketemu, karena om Nawi juga sudah belasan tahun tidak mudik ke Palu. Akhirnya berbekal handphone bisa ketemu juga. Kami pun berangkat ke rumah Om ku di Tangerang, sementara temanku langsung naik bus ke Bandung, di sana sudah ada yang akan menjemput.

Beberapa hari tinggal di rumah Om sembari mempersipakan keberangkatanku berikutnya, ke kampus rakyat, Bogor Agricultural University (IPB).

bersambung ke bagian ketiga